Daftar isi
- 1. Pengantar sebuah studi kasus tentang mengatasi kecemasan
- 2. Masa kecil yang bermasalah
- 3. Masa remaja yang penuh kecemasan
- 4. Masa dewasa muda – kehilangan kendali
- 5. Kesulitan dalam pernikahan dan rumah tangga
- 6. Titik balik – mengatasi serangan kecemasan dan depresi
- 7. Latihan spiritual teratur dan perubahan positif
- 8. Komentar SSRF
1. Pengantar sebuah studi kasus tentang mengatasi kecemasan
Studi kasus ini membahas bagaimana Alison (nama telah diubah untuk melindungi privasinya) terganggu oleh kecemasan, pemikiran negatif dan depresi selama dia dapat mengingatnya. Dengan latihan spiritual, dia bisa keluar dari masalahnya. Alison mengisahkan perubahannya dari serangan kecemasan hingga kesejahteraan mentalStudi kasus ini membahas bagaimana Alison (nama telah diubah untuk melindungi privasinya) terganggu oleh kecemasan, pemikiran negatif dan depresi selama dia dapat mengingatnya. Dengan latihan spiritual, dia bisa keluar dari masalahnya. Alison mengisahkan perubahannya dari serangan kecemasan hingga kesejahteraan mental.
2. Masa kecil yang bermasalah
Saya telah melakukan latihan spiritual di bawah bimbingan SSRF selama enam tahun saat ini. Lahir dalam keluarga Katolik, saya adalah seorang Kristen yang mempraktikkannya dengan baik hingga masa dewasa. Saya sekarang berusia 39 tahun dan selama sebagian besar hidup saya, saya menderita kegelisahan tingkat sedang hingga tinggi dan kemudian depresi ringan. Saya ingat dengan jelas ketika saya berusia sekitar lima atau enam tahun, saya terganggu oleh kekhawatiran dan kecemasan yang konstan tentang perubahan yang mungkin mempengaruhi keluarga atau saya. Saya ingat berdiri di dekat jendela saat ibu saya tidak pulang tepat waktu. Pikiran saya akan penuh dengan pemikiran negatif yang membuat saya takut akan yang terburuk, bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi padanya saat dia jauh dari saya. Hal ini hanya akan meningkatkan kecemasan saya. Pada kesempatan lain, saya membayangkan orang-orang jahat masuk ke gedung tempat dia berada dan menyakiti atau bahkan membunuhnya. Saya membayangkan bahwa ibu saya mengalami kecelakaan mobil di mana dia berada dalam keadaan terluka parah atau meninggal dunia.
Ketika orang tua saya hendak meninggalkan saya dan saudara kandung dengan pengasuh anak, saya akan lari ke halaman mengejar mereka dengan menangis dan memohon agar mereka tidak pergi. Bahkan ini terjadi meskipun mereka hanya berjalan beberapa blok dari rumah kami. Terkadang saya kebetulan mendengar pembicaraan orang tua saya tentang kendala dan perjuangan finansial mereka. Diskusi mereka menimbulkan mual dan ketidaknyamanan dalam diri saya. Ini membuat saya bertanya-tanya tentang bagaimana hidup kami akan berubah menjadi lebih buruk tanpa uang.
Setiap bencana yang ditayangkan di televisi, seperti bencana alam atau dokumenter perang nuklir, membuat saya mengalami depresi. Saya akan terobsesi selama berminggu-minggu tentang visualisasinya, membayangkan diri saya berada di tengah bencana tersebut dan kehidupan berubah menjadi buruk selamanya. Jika ada pengamatan tornado atau peringatan di radio, saya akan bersembunyi di ruang bawah tanah dengan gemetaran dan membayangkan diri saya terpisah dari keluarga saya dan mungkin sekarat di rumah sendirian tanpa mereka. Di sekolah, jika seseorang mengatakan sesuatu yang negatif kepada saya, saya akan terus memikirkan dan mengkhawatirkannya selama berminggu-minggu bahkan walaupun masalah tersebut terselesaikan dengan cepat.
3. Masa remaja yang penuh kecemasan
Pada usia 13 tahun ketika saya berada di kelas tujuh, orang tua saya memindahkan saya ke sekolah persiapan perguruan tinggi swasta. Banyak hal mulai terjadi pada saat itu. Saya mengalami perubahan masa pubertas dan saya juga menjadi sangat terlibat dalam kegiatan olahraga. Level kurikulumnya tinggi dan karena itu tanggung jawab saya berkaitan dengan studi saya meningkat. Sebuah perjalanan panjang ke sekolah serta latihan olahraga membuat hari saya cukup panjang dan ini berlanjut hingga masa sekolah menengah saya. Saya menjadi terlibat dalam hubungan intim, mulai mengeksplorasi tujuan duniawi dan mengarahkan pandangan saya ke perguruan tinggi. Selama masa ini, frekuensi dan durasi serangan kecemasan saya meningkat dan akan memuncak sebelum tes sekolah, di lingkungan sosial dan sebelum saya hendak bermain dalam olahraga. Namun pada saat itu saya percaya bahwa ini normal mengingat semua yang saya lakukan dan karenanya tidak pernah merasakan kebutuhan untuk mengatasi serangan kecemasan saya.
4. Masa dewasa muda – kehilangan kendali
Saat berusia 18 tahun, saya pindah jauh dari keluarga untuk kuliah di universitas. Namun, kecemasan saya terus berlanjut. Sebagai akibat dari serangan kecemasan ini, saya mengalami mual, kehilangan nafsu makan, kegelisahan yang parah dan berada dalam keadaan pikiran yang terus-menerus khawatir. Setelah mencoba menganalisis penyebab serangan kecemasan, saya mengamati bahwa kepercayaan diri saya rendah dan merasa ‘tidak cukup baik’ terutama saat sedang bersama orang lain. Mungkin juga berasal dari keragu-raguan tentang jalur karir saya. Sekalipun saya memikirkan sebuah karir, dari apa yang ingin saya lakukan, pemikiran negatif tentang tidak mampu mencapainya akan menelan saya. Pada waktu itu saya menjadi terlibat secara serius dengan Sam. Namun, setelah satu setengah tahun mengenalnya, serangan kegelisahan saya meningkat dan saya tidak dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Apakah karena hubungan itu salah untuk saya? Apakah karena tuntutan beban kelas yang saya coba tangani? Apakah saya rindu rumah?
Saya mencari bantuan dari para penasihat akademis dan psikolog karena saya merasa kehilangan kendali atas hidup saya. Saya merasa sedikit lebih baik setelah secara lisan melepaskan kekhawatiran ini kepada konselor, tapi ketenangan itu hanya akan berlangsung beberapa hari. Keadaan menjadi lebih buruk ketika Sam putus dengan saya dan menyatakan bahwa dia pikir kami perlu berpisah untuk beberapa waktu. Perpisahan itu membuat dunia saya berputar bahkan lebih cepat diluar kendali. Harga diri saya anjlok. Saya tidak bisa makan karena mual parah; Saya kehilangan sepuluh pon dan berjuang setiap hari untuk pergi dari tempat tidur dan ke sekolah. Saya memiliki pemikiran negatif yang parah tentang diri saya dan kehidupan pada umumnya, dan seringkali bertanya kepada diri sendiri mengapa saya hidup.
Saya sering pergi ke gereja, kadang-kadang hanya untuk duduk dan berdoa dan mengharapkan jawaban, untuk merasakan kelegaan atau kebebasan dari perasaan itu. Saya memohon kepada Tuhan untuk menyingkirkan serangan kegelisahan dan depresi dan membuat saya merasa normal lagi. Tampaknya tidak ada yang membantu, dan dengan meyakinkan diri saya bahwa saya, dan dunia saya, harus menjadi sempurna, saya menekan perasaan itu dan berjalan dengan susah payah saat kegelisahan menyeret saya.
Setelah studi sarjana saya, ketika saya tidak dapat mengikuti program pascasarjana, saya pikir saya telah menemukan solusi untuk kecemasan yang menakutkan ini. Saya merasa ini pertanda bagi saya untuk meninggalkan kesibukan yang tiada henti serta studi tinggi untuk karir dan pekerjaan yang lebih baik. Saya memutuskan untuk pindah ke gunung di mana saya hanya akan memiliki sedikit hal dari segala sesuatu: tanggung jawab, barang-barang material, atau tekanan sosial untuk menjadi sesuatu di dunia ini. Saya akan bebas dan hanya dikelilingi oleh alam. Pada usia 24 tahun, saya mengemasi barang-barang saya dan pindah ke gunung. Saya mendapatkan pekerjaan yang bebas stres dan semua waktu luang saya dihabiskan untuk bermain ski dan hiking, dikelilingi alam dan bersenang-senang. Saya tidak membutuhkan banyak uang, saya membawa sedikit barang dan memiliki banyak waktu untuk diri saya sendiri dan kehidupan terasa menyenangkan selama sekitar delapan bulan.
Kemudian muncul peluang baru. Promosi dalam pekerjaan saya memberikan tanggung jawab tambahan. Saya juga menjalin hubungan serius dengan Jason. Akibatnya, tuntutan duniawi mulai meningkat. Saya mulai cemas lagi tentang pekerjaan baru dan hubungan baru dan bertanya-tanya apakah mereka baik untuk saya. Saya juga sekarang mempertanyakan mengapa saya bersembunyi di pegunungan dan tidak berbuat lebih banyak dengan hidup saya. Sekali lagi saya mulai merasa cemas dan depresi. Untuk mengatasi ini, saya melakukan perjalanan ski lintas negara yang panjang, sebagian besar sendirian, untuk mencoba dan menemukan jawaban di pepohonan, langit dan salju. Bagaimana saya bisa berada di tempat yang terpencil dan indah dan masih merasa cemas dan tertekan? Kapan dan dimana saya bisa merasa benar-benar bahagia dan puas? Akhirnya saya sampai pada solusi bahwa saya perlu keluar dari situasi saya saat ini dan kembali lagi ke dunia untuk melakukan sesuatu yang berarti sehingga bisa membuat perbedaan. Maka saya melamar program doktor dan pindah kembali ke ‘peradaban’ untuk menyelesaikan sekolah dan memulai karir.
5. Kesulitan dalam pernikahan dan rumah tangga
Saya memulai program doktor yang ketat pada usia 25. Akhirnya saya juga bertunangan dengan Jason, pria yang saya kencani saat berada di pegunungan. Kami segera menikah, membeli rumah dan tanah, dan bersama-sama memulai sebuah bisnis kecil hasil pertanian. Selama masa itu, perasaan cemas dan dampak fisiknya berada pada titik tertinggi sepanjang masa. Pemikiran yang mengkhawatirkan terus berlanjut, saya kehilangan berat badan, mengalami serangan diare setiap hari dan harus memaksa diri untuk makan. Saat saya tidak belajar, saya akan merasa khawatir tentang hal itu. Saya khawatir tentang mendapatkan nilai sempurna dan bersaing dengan teman sekelas saya. Saya merasa resah tentang apakah saya menikah dengan pria yang tepat dan tentang bagaimana mungkin memulai karir sedangkan masih memiliki keluarga sendiri. Pemikiran seperti ini akan berputar dalam benak saya sepanjang hari. Karena tidak memiliki jawaban atau solusi atas pemikiran itu, saya mulai mengalami depresi. Seiring dengan ini saya pun mulai berpikir bahwa saya sakit secara fisik, menderita kanker, atau penyakit tak tersembuhkan lainnya. Sebenarnya saya mencoba merasionalisasi diri saya sendiri bahwa akan lebih mudah untuk memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan daripada mencoba menyelesaikan sekolah dan menjalani pernikahan, keluarga dan bisnis saya. Pemikiran seperti itu menciptakan spiral pandangan negatif lainnya dan akhirnya mengakibatkan depresi yang lebih dalam.
Saya berhenti mengandalkan agama saya, berhenti pergi ke gereja dan jarang berdoa atau bahkan berbicara dengan Tuhan. Saya hanya terus mendorong seolah-olah saya mengendalikan semuanya. Namun, tahun-tahun berikutnya merupakan sebuah perjuangan, tidak hanya dalam program pendidikan yang sulit, tapi juga dalam pernikahan saya. Saya dan suami terus-menerus bertengkar karena hampir segala sesuatu dalam hidup kami. Bertengkar saya pikir bukanlah sifat yang saya miliki. Saya selalu menjadi pendamai yang sangat pemalu dan pendiam saat masih kecil dan juga tumbuh di rumah yang penuh kasih dimana pertengkaran dan perdebatan bukanlah kebiasaan. Saya melihat sebagian besar pertengkaran sebagai kesalahan suami saya dan menyalahkan kemarahan saya padanya dan masalah pribadinya. Saya mulai melihat diri saya sebagai korban dalam pernikahan. Kami semakin menjauh, kami tidak yakin apa yang kami inginkan sebagai individu, tapi kami yakin bahwa itu berbeda satu sama lain. Setelah empat tahun dan memperoleh gelar doktor, saya memulai karir yang menuntut dan pernikahan saya perlahan hancur. Saya dan suami berpisah, dan untuk pertama kalinya saya meminta bantuan dari seorang psikiater. Saya duduk di sofanya setiap minggu membicarakan tentang semua kesalahan yang dilakukan suami saya dan betapa saya merasa tidak bahagia. Saya mulai berbicara tentang kegelisahan dan depresi. Konselor tersebut masuk ke dalam sejarah keluarga saya. Karena kakek, ayah dan paman saya pun menderita kegelisahan dan depresi, tampaknya sebagian dari jawaban atas perasaan cemas dan depresi saya tertuju pada susunan genetik saya. Ketika kami menganalisis masa lalu saya lebih lanjut, kemudian disimpulkan bahwa saya mungkin juga memiliki masalah fisik dengan otak saya. Psikiater berpendapat bahwa otak saya tidak bekerja normal karena kekurangan bahan kimia untuk melakukannya. Ia menganjurkan anti-depresan, yang segera saya tolak karena saya tidak ingin bergantung pada obat.
Selama berpisah, suami saya juga setuju untuk pergi ke konseling perkawinan dengan saya. Setelah menghadiri sebuah sesi, kami merasa sedikit lebih baik setelah menyuarakan dan mendiskusikan perbedaan kami dengan pihak ketiga. Kemudian suami saya dianjurkan untuk menggunakan anti-depresan. Ia setuju, dan selama setahun kedepan dia mengkonsumsinya. Dia selalu menghentikan konsumsi obat semaunya, lalu kemudian kembali mengkonsumsinya. Ini menciptakan roller coaster yang lebih curam dan lebih rumit dalam pernikahan kami yang akhirnya mendorong kami ke perceraian.
Berakhirnya lima tahun pernikahan saya membawa saya ke dalam kondisi depresi kronis pada usia 30 tahun; salah satu cara saya untuk melawannya adalah dengan membenamkan diri dalam karir baru saya. Saya melanjutkan sesi konseling saya setiap minggu, yang pada akhirnya membuat saya setuju untuk mencoba obat anti-kecemasan dan anti-depresi. Semakin saya mengungkapkan bahwa saya tidak menangani tantangan hidup dengan baik, dosis obat saya direkomendasikan untuk semakin meningkat. Pada akhir tahun ketiga pengobatan, saya mendapat tiga kali lipat dosis harian yang awalnya saya mulai.
Meskipun semua obat yang saya pakai menekan beberapa serangan kecemasan dan depresi yang melemahkan, saya masih merasa ada sesuatu yang hilang. Saya merenungkan bahwa selama ini iman saya tersingkir dan saya sungguh-sungguh ingin mendapatkan kembali hubungan saya dengan Tuhan YME. Saya mulai dengan menarik keluar yellow pages dari buku telepon, dan membuka bagian gereja. Saya secara acak menempatkan telunjuk saya pada sebuah nomor gereja, gereja manapun, dan memaksa diri untuk menghadiri ibadah mereka pada hari Minggu berikutnya. Yellow pages menjadi penuh dengan garis merah dan tanda silang yang menandakan semua gereja yang saya rasa bukan untuk saya. Saya memiliki banyak pertanyaan tentang bagaimana menemukan Tuhan lagi dan pesan di gereja-gereja tersebut tidak beresonansi dalam diri saya. Rak buku saya menjadi berat dengan buku-buku pengembangan diri. Buku-buku yang akan membuat saya merasa termotivasi dan hidup selama sekitar satu minggu, jika saya dapat menyelesaikan membaca buku tersebut.
Akhirnya saya mulai secara teratur pergi ke sebuah gereja evangelis dan terlibat dengan kelompok belajar Alkitab. Saat berusia 33 tahun, saya juga terlibat dalam hubungan intim lainnya. Pasangan baru saya pun menghadiri gereja yang sama. Saya masih mempertanyakan beberapa sistem kepercayaan gereja baru ini karena sangat berbeda dengan saya. Akibatnya, saya merasa tidak nyaman berbagi kepercayaan dengan kelompok tersebut. Hubungan baru saya juga berfluktuasi pasang surut karena saya terus berusaha mencari tahu apa yang saya inginkan. Begitu hubungan itu menjadi lebih serius, saya menyadari bahwa saya membawa banyak masalah yang sama dengan yang saya bawa ke dalam pernikahan saya sebelumnya. Saat itulah saya memutuskan untuk benar-benar ingin berubah sehingga sejarah tidak akan terulang lagi.
6. Titik balik – mengatasi serangan kecemasan dan depresi
Satu sarana yang terus saya gunakan sebagai sebuah jaring pengaman sejak awal usia dua puluhan adalah latihan Yoga saya. Saya berlatih Yoga terutama karena manfaat fisiknya; namun saya menemukan bahwa Yoga meredakan beberapa kecemasan saya untuk sementara. Meskipun saya tidak pernah mempraktikkannya setiap hari, saya membuat sebuah keputusan tetap untuk melakukannya mulai sekarang. Melalui kelas Yoga baru ini dan instrukturnya, saya diperkenalkan dengan SSRF. Suatu hari di kelas, ketika hanya saya satu-satunya murid yang hadir, saya membuka diri kepada instruktur Yoga baru saya, yang adalah seorang pencari Tuhan YME (seeker) yang mempraktikkan Spiritualitas di bawah bimbingan SSRF. Saya menyatakan kepadanya bahwa selama bertahun-tahun ini saya merasa jauh dari Tuhan YME. Instruktur saya hanya berkata “Apakah Anda tidak berpikir bahwa Tuhan ingin menjalin hubungan lagi dengan Anda?” Hari itu saya memulai latihan spiritual saya dengan SSRF. Instruktur saya merekomendasikan agar saya bertemu dengan istrinya, karena dia merasa istrinya bisa menjelaskan konsep spiritual dengan lebih baik. Kami mulai berdiskusi dan diskusi kami mulai menjernihkan sebagian besar kebingungan yang saya alami tentang agama dan Spiritualitas serta mengapa kecemasan dan depresi telah menelan saya begitu lama. Kami mulai melakukan satsang (pertemuan spiritual) mingguan dan saya mulai mempelajari semua informasi yang ada situs SSRF.
7. Latihan spiritual teratur dan perubahan positif
Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya mulai mempraktikkan Spiritualitas setiap hari sesuai panduan SSRF. Saya mulai chanting (mengucapkan) Nama Tuhan YME dan membenamkan diri dalam doa dan melakukan upaya untuk meningkatkan emosi spiritual (bhāv). Sebagai latihan spiritual saya, saya juga mulai berupaya mengurangi ego saya dan menghilangkan kekurangan kepribadian saya. Saya menuliskan kesalahan yang telah saya lakukan selama sehari, tindakan tepat yang seharusnya dilakukan dan kemudian merangkai sebuah autosugesti yang pada akhirnya akan mencegah saya melakukan kesalahan yang sama. Seiring dengan ini saya akan menyertakan langkah penyembuhan spiritual seperti yang direkomendasikan oleh SSRF, seperti terapi air garam.
Saya mulai mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang kecemasan dan depresi saya; bahwa itu karena masalah spiritual dan bukan masalah fisik otak saya.
Dalam setahun memulai latihan spiritual di bawah bimbingan SSRF, hidup saya segera berubah menjadi lebih baik. Saya menikah kembali, memulai pekerjaan paruh waktu, melahirkan anak, dan latihan spiritual sehari-hari saya menjadi pilar dalam hidup saya. Serangan kegelisahan mulai berkurang, meski ada banyak perjuangan yang dihadapi di sepanjang jalan. Serangan depresi menjadi sedikit dan jarang. Alih-alih terobsesi dan mengkhawatirkan sesuatu selama berminggu-minggu, perasaan itu akan hilang dalam beberapa hari, dan akhirnya, beberapa jam.
Sebagai contoh, sebelumnya ketika saya membuat sebuah kesalahan besar di tempat kerja, saya akan hancur. Saya akan mengulangi kesalahan tersebut di kepala saya dan terobsesi dengan akibatnya. Saya mulai memiliki pemikiran negatif tentang diri saya dan mengalami keadaan depresi. Namun, setelah saya memulai latihan spiritual rutin dengan menggunakan alat yang disediakan oleh SSRF, cara saya menangani situasi dalam kehidupan saya menjadi lebih baik. Saat ini ketika kesalahan besar terjadi di tempat kerja, saya bisa lebih menerima kesalahan saya dan terus maju dengan dorongan yang lebih dalam untuk melakukan yang lebih baik di lain waktu. Saya masih terobsesi dengan kesalahan sampai batas tertentu, tapi tidak untuk beberapa hari atau minggu seperti sebelumnya. Sekarang saya tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kesalahan itu pada tingkat psikologis dan spiritual sehingga tidak terjadi lagi, yang kemudian menciptakan harapan dan ketabahan dan bukan kegelisahan. Sekarang saya dapat melihat sebuah situasi dan menemukan pelajaran dari Tuhan disitu, bukannya menciptakan perspektif obsesif negatif. Inilah kebebasan yang saya cari dari eksistensi negatif saya sebelumnya.
Alat spiritual mulai berevolusi menjadi ‘obat anti kecemasan’ baru saya. Latihan spiritual saya dan anugerah Tuhan YME, telah memungkinkan saya untuk mengurangi obat saya selama beberapa bulan dan akhirnya menghentikannya. Bahkan hubungan saya dengan pasangan saya telah berubah menjadi lebih baik. Saya bisa menerima perbedaan yang saya miliki dengan suami saya. Saya mulai melihat kesalahpahaman kami sebagai pelajaran, dan untuk mengetahui bahwa sebuah hubungan tidak sempurna karena suatu alasan. Suami saya juga telah memperhatikan perubahan itu karena saya menjadi sedikit reaktif, sedikit menghakimi dan lebih menerima orang lain dan perubahan. Karier saya, meski saya menyukainya, bukan segalanya lagi bagi saya. Saya menggunakannya untuk membantu orang lain karena saya telah dibantu dan menjadikannya bagian dari latihan spiritual saya dan menggunakan setiap situasi untuk tumbuh secara spiritual.
Awalnya saya gugup untuk tidak menggunakan obat anti-depresi karena telah menjadi “penopang” saya untuk mencegah kecemasan dan depresi yang telah saya hadapi selama bertahun-tahun. Dengan melakukan latihan spiritual, ini membuat saya mengalami tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, ketenangan pikiran dan kesejahteraan mental yang belum pernah saya alami sebelumnya dengan obat-obatan. Hasilnya saya tahu saya akan terus bertekun dalam latihan spiritual saya. Apakah saya masih mendapatkan pemikiran negatif, kegelisahan, pemikiran dan ilusi yang depresif berputar di dalam pikiran saya? Tentu. Namun, perbedaan utamanya adalah bahwa sekarang saya segera menerapkan teknik yang telah saya pelajari melalui SSRF dan pemikiran tersebut lenyap hampir segera.
8. Komentar SSRF
Kasus serangan kegelisahan Alison tidak jarang terjadi; sebagian besar orang di masyarakat menghadapi serangan kecemasan hingga batas tertentu, walaupun tidak sejauh yang dialami Alison.
Di SSRF, kami telah melakukan penelitian spiritual ke berbagai studi kasus mengenai penyakit mental. Kami telah menemukan bahwa dalam kebanyakan kasus, masalah yang berkaitan dengan pikiran memiliki akar penyebab dalam dimensi spiritual dan bukan psikologis. Melalui penelitian spiritual kami juga menemukan bahwa akar penyebab spiritual kebanyakan orang disebabkan oleh arwah leluhur/keluarga.
Untuk mengatasi masalah tersebut, SSRF merekomendasikan untuk memulainya dengan:
- Chanting Nama Tuhan Datta
-
Latihan spiritual reguler seperti yang disebutkan di bagian – Mulailah perjalanan spiritual Anda
-
Terapi penyembuhan spiritual seperti terapi air garam dan menyalakan dupa SSRF yang diarahkan untuk penyembuhan spiritual dan pembersihan lingkungan secara spiritual
Upaya harian yang sungguh-sungguh dalam latihan spiritual dan hidup sattvik membantu kita untuk memperkuat pikiran kita dan melindungi kita dari unsur-unsur berbahaya dalam dimensi spiritual, dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Alison.